Postingan

Demam Sepeda Kangkung

Demam Sepeda Kangkung Oleh Bima Satria Jeruji hitam ini, baru terasa sangat mulus setelah dijilat syahdu akan secarik kain perca bekas, milik toko Unggang Jali. Di tepi pojok pinggiran pasar, sembari berdiri setengah jongkok. Unggang menyisiri pedal sepeda itu, lalu memberinya merek anyar. Sepeda ontel ini seakan sedang disulap kaget oleh pemilik menjadi khalayak kuda jantan. Ibarat sebuah tunggangan panglima perang zaman behelak. Alur fajar yang kelut untuk detik waktu, membentur atas dua pilihan jalan pintas membingungkan. Itulah perasaan jenuh sedang dialami Umak saat itu. “Selagi masih bisa memberi yang terbaik buat Ahcong, mana mungkin harus menolaknya. Lagi pula, sekotah juga untuk putra semata wayang. Jadi, percuma kalau enggan dituruti,” tutur Umak “Nak, Hanya ini sepeda paling murah di sini,” ujar Unggang Jali sambil merayu sayu penanya setia itu.  Agar tak beranjak pergi dari toko, lelaki tua segera melontarkan sebuah kalimat senjata terkahir: “Ahcong hanya cukup memberi U

Puisi-Sahutan Pujangga Pemuja Maritim

Sahutan Pujangga Pemuja Maritim               Oleh Bima Satria  “Jangan tanya di mana diriku bergumam, tetapi biarlah lisanku  yang berkumandang riang” Larik membaca sekejap.... Sekelopak mataku bergulir lembut di atas nestapa Arti kemudian mengartikan sebuah rima bersendu Membiarkan telingaku menangkap gelombangnya Lalu terbisik sirat suaramu dalam lantunan Pusaka Tanahku katanya bermuara Berdesir yang ungkapannya menyejukkan bayanganmu Padahal semua isi itu tak hela Sudah engkau terjemahkan.... Namun sayang masih saja bukan panggilanmu: Pemuda itu sudah melalang buana Pemuda ini menunaikan segalanya Pemuda anu telah menjulang ke sana Sebuah memo rumit berkata: Singgahlah di sini wahai jejaka agar kau kelak meraihnya Kali kulitku hitam kutanya? Jawabnya sudah Berkali semburan telingaku bertanya? Sahutnya sudah Jikalau diriku begeming dirimu membidas terus iya Apakah selesai diriku menorehkan sebuah rasa Penuh gelora dan bernuansa akan cinta Saat indra pera

Ande-ande lumut

Ande Ande Lumut Narator : Pada suatu hari angin topan melanda sebuah desa yang aman dan tenteram. Semua rumah hancur lebur, pohon-pohon beterbangan. Banyak warga desa yang meninggal, termasuk keluarga klenting kuning. Ayah dan Ibunya meninggal karena tertimpa pohon kelapa yang tumbang. Akhirnya klenting kuning terpaksa tinggal bersama bibinya bernama Mbok Rondo Dadapan. Pada awalnya mbok Rondo sangat baik kepada klenting Kuning, tapi lama-kelamaan dia menjadi kejam dan jahat. Begitupun dengan sepupu-sepupu klenting Kuning yaitu anak Mbok Rondo Dadapan. Mereka adalah Klenting Abang, Klenting Ijo, dan Klenting Biru. Mereka sering memusuhi Klenting Kuning dan menganggapnya seperti budak. Adegan 1. Mbok Rondo : (duduk dan memakai kipas) Aduh panas sekali sich,. Klenting Kuning, Klenting Kuning,.. ambilkan es untukku!!! Cepat dong.. Klenting Kuning : iya bu sebentar, (membawa gelas) ini bu airnya,.. Mbok Rondo : Lama sekali,.. ngapain aja kamu tidur ya,.. bermalas  malasa

Badai Sendu Terhempas Malu Sang Ibu (Cerpen)

Bayangan Sendu (Puisi)

Penjaga Hati Menuai Cinta (Puisi)

Terdidik Karyaku Akan Bahasamu (Puisi)