Demam Sepeda Kangkung
Demam Sepeda Kangkung Oleh Bima Satria Jeruji hitam ini, baru terasa sangat mulus setelah dijilat syahdu akan secarik kain perca bekas, milik toko Unggang Jali. Di tepi pojok pinggiran pasar, sembari berdiri setengah jongkok. Unggang menyisiri pedal sepeda itu, lalu memberinya merek anyar. Sepeda ontel ini seakan sedang disulap kaget oleh pemilik menjadi khalayak kuda jantan. Ibarat sebuah tunggangan panglima perang zaman behelak. Alur fajar yang kelut untuk detik waktu, membentur atas dua pilihan jalan pintas membingungkan. Itulah perasaan jenuh sedang dialami Umak saat itu. “Selagi masih bisa memberi yang terbaik buat Ahcong, mana mungkin harus menolaknya. Lagi pula, sekotah juga untuk putra semata wayang. Jadi, percuma kalau enggan dituruti,” tutur Umak “Nak, Hanya ini sepeda paling murah di sini,” ujar Unggang Jali sambil merayu sayu penanya setia itu. Agar tak beranjak pergi dari toko, lelaki tua segera melontarkan sebuah kalimat senjata terkahir: “Ahcong hanya cukup memberi U