Puisi-Sahutan Pujangga Pemuja Maritim

Sahutan Pujangga Pemuja Maritim
              Oleh Bima Satria

 “Jangan tanya di mana diriku bergumam,
tetapi biarlah lisanku  yang berkumandang riang”
Larik membaca sekejap....
Sekelopak mataku bergulir lembut di atas nestapa
Arti kemudian mengartikan sebuah rima bersendu
Membiarkan telingaku menangkap gelombangnya
Lalu terbisik sirat suaramu dalam lantunan Pusaka

Tanahku katanya bermuara
Berdesir yang ungkapannya menyejukkan bayanganmu
Padahal semua isi itu tak hela
Sudah engkau terjemahkan....
Namun sayang masih saja bukan panggilanmu:
Pemuda itu sudah melalang buana
Pemuda ini menunaikan segalanya
Pemuda anu telah menjulang ke sana

Sebuah memo rumit berkata: Singgahlah di sini wahai jejaka agar kau kelak meraihnya

Kali kulitku hitam kutanya?
Jawabnya sudah
Berkali semburan telingaku bertanya?
Sahutnya sudah
Jikalau diriku begeming dirimu membidas terus iya
Apakah selesai diriku menorehkan sebuah rasa
Penuh gelora dan bernuansa akan cinta
Saat indra perabamu
Mengusik panoramaku itu

Sampai kini bagian cakar mencakar langitku masih engkau pandang
Tetap terpandang walau hidung mengendus kembali ingatan
Tak ada khayalanmu
Lirik membidik otakmu yang memelukku

Nampak nyata asal sembilu membekas gemilang
Tutur cakapku serta bahasaku dirimu lupakan
Berganti kebaharuan

Kini rupa lisan berbalut tawamu sudah berakhir....

Angan-angan manis mulai tumbuh ragam penuh jiwa
Sejarah bahari terduduk olehmu lalu diam menatapku
Meski hati sudah menjelma
Telah kupenuhi rasamu
Telah kupenuhi asihmu
Telah kupenuhi ibamu
Hingga terpenuhi syarat jati dirimu

Tempatmu bersandar tubuh ini menepi
Membayangkan duhai aroma bumi pertiwi
Semilir musim menerpa pantai biruku bercampur asoka
Seakan dirimu menyentuh kulit yang ikut bercanda

Luasnya bukan katanya lagi
Dari selat-selat begemuruh gema
Telinga mesra mendengar ria
Lantunan suara sorak berjuta rasa
Tak ada lagi yang hilir kembali ke hulu
Kini hanya sahutan indahku
Berdongeng seelok menyerupai tembang melayu

Sebutlah kamu
Puja....................puja.................Pujangga
Seru.....................seruan..................Berseru
Cinta......................akan.........................Mencinta
Lalu jari-jemari menulis dan mengabdi syair tanpa dera
Menguliti ruang bercucur rasa
Hingga nadi ini tak sanggup mengalir
Dalam haluan gerombolan nada darahku
Yang enggan bercerita nasibnya padaku
Yang hilir bergantung padamu

“Singgahlah di sini agar kau meraihnya”
Tidak......................cukup.....................Pengabdian
Bukan.............hanya..................kehormatan
Tetapi.........tumbuh..........menggebu
Jiwa kemaritimanmu

Jika hanya itu saja yang tercipta
Bumi mati pun ikut membantu!
Tapak kakimu menggerutu lusuh tanpa lesu
Seakan semu tak jauh dariku


Sejak kemunculanmu semua rasa tepat tersampaikan padaku
Hormat-menghormati
Tolong-menolong
Telah tertanam mendasar dalam bumi bahari

Kisaran pekerti Ibu bapaku
mendidik halus cinta rasa jiwa berbudi luhur
Membiarkan awan menyapaku dengan perlahan
Menghadapkanku atas dua pilihan kehidupan

Seru tanahku ataukah bumimu?
Pencitraan tak akan reda
Bahkan tak sejajar pada harapanmu
Untuk selalu membuangku

Meskipun Budaya molekmu
Kini mencekam dalam genggaman
Kupikir itu palsu
Kupikir itu kelabu
Kupikir itu hanya sebuah hantu

Kebenaran nyata ada rasa
Menggali dan mencoba
Agar tahu akan sejatimu siapa

Kalau lah terus mengukir pelangi
Sampai kapan hujan membasahi

Hanya sifat yang dapat menafsirkan
Keberuntungan di ujung kesadaran
Lalu sembari bertanya, sudah cintakah kau denganku?
              Oleh Bima Satria

 “Jangan tanya di mana diriku bergumam,
tetapi biarlah lisanku  yang berkumandang riang”
Larik membaca sekejap....
Sekelopak mataku bergulir lembut di atas nestapa
Arti kemudian mengartikan sebuah rima bersendu
Membiarkan telingaku menangkap gelombangnya
Lalu terbisik sirat suaramu dalam lantunan Pusaka

Tanahku katanya bermuara
Berdesir yang ungkapannya menyejukkan bayanganmu
Padahal semua isi itu tak hela
Sudah engkau terjemahkan....
Namun sayang masih saja bukan panggilanmu:
Pemuda itu sudah melalang buana
Pemuda ini menunaikan segalanya
Pemuda anu telah menjulang ke sana

Sebuah memo rumit berkata: Singgahlah di sini wahai jejaka agar kau kelak meraihnya

Kali kulitku hitam kutanya?
Jawabnya sudah
Berkali semburan telingaku bertanya?
Sahutnya sudah
Jikalau diriku begeming dirimu membidas terus iya
Apakah selesai diriku menorehkan sebuah rasa
Penuh gelora dan bernuansa akan cinta
Saat indra perabamu
Mengusik panoramaku itu

Sampai kini bagian cakar mencakar langitku masih engkau pandang
Tetap terpandang walau hidung mengendus kembali ingatan
Tak ada khayalanmu
Lirik membidik otakmu yang memelukku

Nampak nyata asal sembilu membekas gemilang
Tutur cakapku serta bahasaku dirimu lupakan
Berganti kebaharuan

Kini rupa lisan berbalut tawamu sudah berakhir....

Angan-angan manis mulai tumbuh ragam penuh jiwa
Sejarah bahari terduduk olehmu lalu diam menatapku
Meski hati sudah menjelma
Telah kupenuhi rasamu
Telah kupenuhi asihmu
Telah kupenuhi ibamu
Hingga terpenuhi syarat jati dirimu

Tempatmu bersandar tubuh ini menepi
Membayangkan duhai aroma bumi pertiwi
Semilir musim menerpa pantai biruku bercampur asoka
Seakan dirimu menyentuh kulit yang ikut bercanda

Luasnya bukan katanya lagi
Dari selat-selat begemuruh gema
Telinga mesra mendengar ria
Lantunan suara sorak berjuta rasa
Tak ada lagi yang hilir kembali ke hulu
Kini hanya sahutan indahku
Berdongeng seelok menyerupai tembang melayu

Sebutlah kamu
Puja....................puja.................Pujangga
Seru.....................seruan..................Berseru
Cinta......................akan.........................Mencinta
Lalu jari-jemari menulis dan mengabdi syair tanpa dera
Menguliti ruang bercucur rasa
Hingga nadi ini tak sanggup mengalir
Dalam haluan gerombolan nada darahku
Yang enggan bercerita nasibnya padaku
Yang hilir bergantung padamu

“Singgahlah di sini agar kau meraihnya”
Tidak......................cukup.....................Pengabdian
Bukan.............hanya..................kehormatan
Tetapi.........tumbuh..........menggebu
Jiwa kemaritimanmu

Jika hanya itu saja yang tercipta
Bumi mati pun ikut membantu!
Tapak kakimu menggerutu lusuh tanpa lesu
Seakan semu tak jauh dariku


Sejak kemunculanmu semua rasa tepat tersampaikan padaku
Hormat-menghormati
Tolong-menolong
Telah tertanam mendasar dalam bumi bahari

Kisaran pekerti Ibu bapaku
mendidik halus cinta rasa jiwa berbudi luhur
Membiarkan awan menyapaku dengan perlahan
Menghadapkanku atas dua pilihan kehidupan

Seru tanahku ataukah bumimu?
Pencitraan tak akan reda
Bahkan tak sejajar pada harapanmu
Untuk selalu membuangku

Meskipun Budaya molekmu
Kini mencekam dalam genggaman
Kupikir itu palsu
Kupikir itu kelabu
Kupikir itu hanya sebuah hantu

Kebenaran nyata ada rasa
Menggali dan mencoba
Agar tahu akan sejatimu siapa

Kalau lah terus mengukir pelangi
Sampai kapan hujan membasahi

Hanya sifat yang dapat menafsirkan
Keberuntungan di ujung kesadaran
Lalu sembari bertanya, sudah cintakah kau denganku?

Komentar

Posting Komentar