Badai Sendu Terhempas Malu Sang Ibu (Cerpen)
Badai
Sendu Terhempas Malu Sang Ibu
Oleh Bima Satria
Terlelap
tenang, kicauan seorang anak pada induknya. Perpaduan jangkrik yang berseru
riang mengisi sunyi pada nuansa tenang malam itu.
Nampak seorang ibu termenung lepas setelah mendengar seruan indah yang
disampaikan oleh sang buah hati.
Mengingatkan
pada kejadian bangkitan semangat tuntunan dari hadirnya seorang ibu, terpetik
sudah penerang alam, terhenti akan selimut langit berubah gelap.
“Menandakan
penutup kedipan mata sang ibu”
Tampak rumpang wajah alam, jika tak hadir dirimu
setiap pergantian antara pagi buta menuju senja tiba. Gulungan angin kadang
menerpa hela seketika, seolah menyapa seorang wanita kuat yang tengah tegap
mencari tetesan payah, “Menjadi hadiah untuk
Fulan tercinta.”
Langkah tertatih-tatih melompat diri melampaui
batas hampa arah. Tibalah dirimu di tepian hikmat penuh panorama, yaitu sungai
yang terus mengalir, tanpa menghiraukan itu siapa. Dirimu tancapkan hati pada
kapal sederhana, dengan kayuhan yang hampir rusak dan nampak tua, Tetap terguna
walau sudah masa tiba.
“Berlalu
lampau satu persatu engkau kayuh derasan arus berbeda arah. Dirimu singkirkan
mereka kearah ketepian demi menuju pulau, tempat pelabuhan.”
Di
sisi pandang terlihat Fulan terlelap khusyuk, “Menikmati canda gurau di alam
mimpi.” Lupa ingat bahwa dirinya belum
sadar oleh keadaan yang menghiasi hati. “Fulan bangulah dari tidurmu,” ujar “matahari”
seolah berkata sambil membangunkan dia dengan sengatan sinar yang terkena lansung
ke matanya. Kemudian Fulan terbangun, “Menggelengkan kepala,” sambil
mengumpulkan nyawa yang telah terbuyar oleh hamparan mimpi. Melihat alam dunia
nyata sudah terbentang, si fulan lekas bergegas mempersiapakn diri.
Dalam
ingatan hari ini, akan adanya penentuan naik, serta kumandangan sang juara yang
biasa Fulan lah pemenangnya. Tercepat, seakan kilat menyambar bumi dengan
gerakan fasih. si fulan pun tanpa menghiraukan waktu untuk mempersiapkan diri.
Diri
sudah siap dengan gambaran calon rapi dan gagah. Lalu Fulan pergi dengan menunggangi
“Satria” yang tak bersayap melaju kencang dengan penuh harapan dan impian yang
bisa terwujud. ‘Tebar senyuman setiap sapaan yang terjumpai oleh Fulan, dengan
lesung tanpa di gali, sudah terlukis di pipi, mengikuti wajahnya yang rupawan.’
Dengan tambahan sedikit tarikan tangan,
membuat satria melaju terjang lekang membawa diri sang penunggang.
Tiba-tiba,
laju angin terhenti sentak membuat ricuh sekitar mata, terlihat merinding jelas
oleh suara yang ditimbulkan, kaget, risau, bingung nampak Fulan, melihat
sesosok badan terhempas seketika oleh kegagahan “Satria.” Melirikan pandangan mata ke segala penjuru
arah mata angin, tak terlihat manusia di sekitar bumi yang sedang ia pijak.
Dengan
rasa yang takut, Fulan pergi meninggalkan apa yang telah terlintas tadi.
Menambah “tarikan pacuan” dengan lebih kencang membawa satria menuju pengakhiran
akan adanya tempat pengumuman bahagia yang menjadi tujuan awal dirinya.
Sesampai
Fulan di tempat itu, serantak masuk bersamaan dengan gerombolan manusia seolah
tertarik oleh gravitasi yang bersumber dari ramainya mahluk yang sedang
bersahut gembira, “Mengguncangkan antariksa damai menjadi berhamburan.”
“Semua
mahluk berkumpul menyimak serangan badai kejutan, berasal dari pengeras suara.”
Berawal
dari seruan manusia untuk “Sang juara ketiga,” sebagai pembuka kericuhan di
tengah keramaian itu, melanjutkan suara pada “Juara kedua” yang disambut
meriah. Hingga akhirnya, detakan jantung bergelombang ombak berdesau ruah.
Fulan yang awalnya siap mendengar haluan nyata yang sudah ditunggu lama oleh
sang calon juara. Berhenti!!!.... “Terdiam
padu menjadi hening waktu statis seolah drama pentas di bait terakhir
pembacaan....”
Terpikir
penuh oleh “Sang ibu” untuk menghentikan waktu menjelajahnya dengan penuh rupa
riang, mengingat buah hati telah menghanturkan perkataan malam telah kelap.
Bersegera ibu membentangkan layar menuju tempat asal. Dengan penuh acuan, “Mengayuh
si tua akan searah.” Semua kejadian awal pun kembali dilalui olehnya. Tiba
akhir pada singgasana sederhana yaitu tempat perlindungan hidup di alam bebas,
menepatkan waktu untuk bersiap-siap menanti “Sang buah hati.” Di sertai
wejangan pantas yang setiap kali ada dalam acara tahunan ini menant,
percampuran hati ibu bergumang.
“Apakah anakku kembali membawa apa yang
dibawanya setiap kali perayaan dadakan ini ada?”
“Permisi”
suara terdengar nampak dari luar, sontak mengejutkan “Sang ibu” yang tengah
melamun sambil tersenyum haru sedikit mengeluarkan, “Mutiara bening dari mata.”
Lantas bergegas “Sang ibu” menerkap
pintu yang tertutup rapat, sembari membuka satu persatu anak kunci dari pintu.
Terbuka lebar gerbang singgasana sederhana itu. Kemudian itu dihadapkan dengan pemandangan aneh bercampur
terkejut akan apa yang dipandanginya.” Dua mahluk bertubuh gagah, berdiri tegap
dengan balutan kain yang melakat rapi bersama bintang penanda pasukan penggempur keamanan dunia.”
Lekas
menyapa mahluk itu terhadap ibu, “bersamaan dengan memberikan selipat surat dan
piala terbungkus rapi.” Nuansa alam cerah tiba-tiba berubah menjadi kelabu saat
ibu membaca isi selipat surat yang bertuliskan, “status tahanan” terhampas ibu menjatuhkan diri. Pohon yang
roboh dari akar kekokohanya.
“Menangis
ibu tersendu-sendu mengalirkan air mata harapan penyesalan berlapis malu, atas
apa yang telah digoreskan “Sang buah” hati terhadap perasaan bahagia ini.
”Fulannn...
fulannn... fulann....”. Sang ibu terus berteriak sambil menjatuhkan air mata.
Rasa bahagia bercampur lelah, hampa habis terasa tertimpa badai seketika. Ibu
menegapkan diri meratap wajah yang tersenyum dalam sebuah gambar sang buah
hati. Penuh dengan rasa penyeselan dan salah sambil menerbangkan angan-angan
akan ingatan asuhan. “ibu yang berjuang sendiri memeluk, merangkul, memberi sesuapan
nasi untuk sang buah hati.” “Seseunggunya rasa bangga itu hilang akan rasa
lunturnya kepercayaan.” Terakhir ibu kecewa terselaput oleh sang buah hati yang
tak memilki rasa tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. “Menangis rintih
hati seorang ibu.”
Komentar
Posting Komentar