Demam Sepeda Kangkung

Demam Sepeda Kangkung
Oleh Bima Satria

Jeruji hitam ini, baru terasa sangat mulus setelah dijilat syahdu akan secarik kain perca bekas, milik toko Unggang Jali. Di tepi pojok pinggiran pasar, sembari berdiri setengah jongkok. Unggang menyisiri pedal sepeda itu, lalu memberinya merek anyar. Sepeda ontel ini seakan sedang disulap kaget oleh pemilik menjadi khalayak kuda jantan. Ibarat sebuah tunggangan panglima perang zaman behelak. Alur fajar yang kelut untuk detik waktu, membentur atas dua pilihan jalan pintas membingungkan. Itulah perasaan jenuh sedang dialami Umak saat itu. “Selagi masih bisa memberi yang terbaik buat Ahcong, mana mungkin harus menolaknya. Lagi pula, sekotah juga untuk putra semata wayang. Jadi, percuma kalau enggan dituruti,” tutur Umak
“Nak, Hanya ini sepeda paling murah di sini,” ujar Unggang Jali sambil merayu sayu penanya setia itu.  Agar tak beranjak pergi dari toko, lelaki tua segera melontarkan sebuah kalimat senjata terkahir: “Ahcong hanya cukup memberi Unggang sebuah imbalan. Apa itu Nggang?” tanya Ahcong penasaran. “Makanan hijau mentah yang ada di dalam kantong, tolong berikan pada Unggang ya?,” langsung menunjuk ke arah plastik hitam berisi sayuran kangkung sedang erat dipegang Umak cong.
Terpaksa kantong yang digunakan sebagai wadah kangkung terkahir diserahkan. Hal itu guna menutupi kekurangan uang-nya tuk mendapatkan sepeda baru. “Ah, sepertinya jadi? tapi sekedar dua ikat sayuran ini tersisa untuk digadaikan. Ya, kalo Unggang menginginkannya.” Jawab lembut dari Umak cong, saat akan menukar sepeda ontel yang dikehendaki. “Silakan ambil Ahcong,” perintah tegas pada anak itu. Lekas segera berlari cepat meraih sepeda baru pemberian Umak. Takdir suasana memanglah sangat mendukung sejak tadi. Berkaitan keberuntungan nasib kali ini mengenai pengahasilan kebun yang ludes terjual dengan harga sangat fantastis. Entahlah, mungkin rezeki anak soleh. “Huhh,” lepas lega Indung berpikir. Padahal yang lain sudah laris terjual, sedangkan dua ikat sayur kangkung harus pasrah diambil orang. Sebagai bentuk jaminan dengan sepeda lama ampas peninggalan sejarah toko berdiri. Tawar-menawar seketika terhenti oleh tembakan jitu kepunyaan Unggang, menancap sangat tajam jatuh tepat mengenai selera lidah  Ahcong.
Dua hari berlalu, terngiang lesu pikiran wanita setengah tua, seraya jelas ketika nyata memandangi langit yang terbuka. Hati dan perasaannya terasa lepas dari beban gugatan pengadilan alam. “Sungguh ini sudah lama sekali terjadi.” Keluhan otak seusai sidang hening antara Umak dengan anak pada malam itu. Seakan mengangkat derajat energi baru untuk mengabulkan permohonan sang buah hati, yaitu membeli sebuah sepeda baru yang begitu mirip kecepatan kuda saat ditunggangi, kata Ahcong menunjukkan kelebihan kereta tua. Seiring gugatan tadi tersampaikan dengan tutur lembut berbalut batu. munculah semangat kerja secara keras terhadap tekad kuat yang akan dihadapi nanti. Tanpa kenal lesu Umak bergerak setiap hari. Sistem wajib berladang dan beramu di pasar pagi. Demi setumpuk permata belahan jiwa.
Semasa perjuangan Umak cong tidak ada kekerasan untuk Ahcong. Sayur-mayur seolah menjadi teman se-makan, se-hidup, dan se-mati manusia itu. Sepasang labu saja mampu disihir menjadi bahan baku serta padu pada bagian tubuh. Keluarga seolah tak ada duanya. Meskipun harus kehilangan berjuta persediaan sayur di rumah. Apapun alasan itu tetap teguh demi kebahagiannya bersama Ahcong. Meski sudah berkeliling kabut kerumunan pasar sejak pagi tiba, Umak tetap biasa saja, tanpa kenal mengeluh. Menjajakan sayuran segar, senadi monoton bagi-nya. Tidak ada perkerjaan layak selain jualan sayur. Terkecuali tidur pada pagi hari bagai menekuk matahari berupa manusia menjadi buta akan dunia.
Umak cong sendiri salah satu wanita tangguh dan berani. Kemampuan menanggung anak adam dengan tangguh seorang diri. Mulai sigap setelah sepeninggal Pak Tarnok, almarhum suami. Semua harus serba ekstra merelakan keringat bercucuran deras demi sesuap gizi. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan desa, pada saat pulang selalu membawa buah tangan sebagai puncak keceriahan keluarga kecil itu. Namun, rasa hambar kini telah menghampiri roda dunia. Karena putaran itu terus mengitari poros takdir kehidupan. Segala kesenangan sudah berlalu. tinggalah sisa kenangan rumah serta kebun di pelataran. Sekarang telah menjadi saksi bisu, kisah antara Pak Tarnok dan silsilah keturunannya.
Seikat kangkung dan secumpuk bayam bisa mengobati rasa lelah serta memberikan tenaga super tiap kegiatan. Hanya tanaman musiman yang jarang tumbuh di kebun. Agar semua lahan dapat dimanfaatkan secara baik. Pendekar wanita tani ini, menggunakan simpan-pinjam tuk membeli bibit atau benih unggul penerus asupan. Bahkan dirinya juga mampu menyunting dari tanaman yang usai tumbuh menjadi generasi bakti baru. Rutinitas yang selalu membelah dirinya menjadi dua bagian waktu, dapat hidup lebih aman dengan armada pagi pulang petang. Demi suguhan terbaik untuk bekal anak semata wayang.
Ahcong mulai menguliti rantai sepeda barunya, satu persatu terlepas dari tadi. Sesudah pergi dari kediaman Unggang jali. Sungguh sedap juga bisa  memandang impian. Sebuah kendaraan hebat beroda dua ternyata bukanlah kuat bagaikan kuda, melaikan dunia khayalan yang dimiliki. bungkusnya saja yang sangat mengugah hasrat kemauan, akan tetapi paras ikut mendukung bagaikan nona yang memakai mahkota. Sepada baru buka merek biru ini, sungguh sudah lama tertinggal masa pajangan di lesehan barang tua Unggang Jali. Barang itu di jual sekedar takut kehilangan sejarah, mengingat toko aneka bentuk sepeda ini sudah lama berdiri, jauh sebelum negara mengenal sebutan bebek bermesin, atau  robot kijang beroda empat.
Sadar diri memang Ahcong anak yang rajin. dalam arti kata bukan berarti akademik alias belajar. tapi, sebutan rajin dapat digaris bawahi dengan julukan bermain Itulah inti hidupnya sehari-hari. Ditemani lalang menerpa congklak serta sayuran segar milik tanaman Umaknya, melepas canda dan tawa riang. Apalagi semenjak kehadiran sepeda baru, Ahcong bahkan semakin lupa diri. Bergelut manja dengan matahari pagi hingga berubah jingga kemerahan. Tak pandang bulu lagi akan  menjemput gelar masa kekanak-kanakan. “Mungkin kalau bisa semua predikat itu menjadi miliknya,” canda Ahcong mengkhayal aneh. Sama sekali tidak memikirkan keadaan tubuh.
Selesai menjual sayurnya, Umak cong harus meramu lagi tanaman di kebun belakang rumah. Perjuangan silih berganti tak cukup sampai di sini. Namun, Umak cong tetap giat tuk menjiwai masa kekuatan serta kegagahan. Maklumlah selisih umur terbilang agak jauh dengan almarhum suami, jadi masih sangat muda sudah menjadi pendamping.
Petang tiba, seperti biasa Umak memiliki waktu untuk beranjak pulang ke hunian. Akan tetapi di tengah sausana riuh, datang suara rusuh dari kebun sebelah. Tak tahu prihal apa yang gemuruh mengelegar pemilik ladang itu. Bagaikan mahluk besar sedang kumat dan marah besar. Sekilas mata Umak fokus memandangi ke arah dengungan. sedikit jelas, tapi sendat kusut seperti sinyal ponsel seluler. Oleh karena jarak agak sedikit jauh, hanya terdengar bising tetangga berkata runtutan kata “sumpah, laknat, bunuh.” Sekedar itu yang umak dengar. Lekas tak menghiraukan kemarahan tersebut. Lanjut kembali membenah diri tanpa perduli atas wacana belaka yang bukan urusannya.
Kemudian tersipu bingung menatap hari. Sudah hampir senja segera, berbanah dan membersihkan sisa rumput di ladang.  Semata timbangan, senja rela datang menghampiri Umak yang menekuni kegiatan waktu kedua. Lalu berpikir segera agar berkemas dan secepatnya lekas pulang sebelum gelap menjelang. Bergegas membawa makanan dari hasil kebun. Serangan aneh hadir di dalam hati, seketika risih dan gelisah. Ladang ini penuh sekali tumbuhan, akan tetapi belum dapat dipanen. Tidak ada satu pun yang bisa dibawa pulang. Karena sepekan terakhir semua bahan makanan sudah banyak dipetik. Umak tak ingin pulang dengan keadaan murung. Sambil menutup kandang kebun yang terbuat dari bambu empat batang, perlahan menggerakan langkah kedua kaki menuju kediaman.
Kebingungan masih menyelimuti pikiran nasib malam ini. sambil melihat sempalan tanaman kangkung jalar di luar pagar, tumbuh lebat di ujung jalan. Merambat dan menjulur keluar dari kebun tetangga. Kuasa hati tidak bisa menahan nafsu kelaparan. Tanpa pikir panjang lansung beranjak ke ujung jalan dan memetik sayuran. Dengan berat hati berbalut kegembiraan mendalam, kangkung telah terbawa pulang. Meski harus menjadikan menu utama setiap hari sayuran. Tetapi pasti ada titik kekebalan berakhir.
Selingan mata selalu membuka tabir rasa lelahnya Umak sendiri. Setiap senja pasti membawa seikat atau segumpal sayuran untuk dibawa pulang. Seperti makanan lain yang biasa di rebus atau di tumis. Sesuai selara cita rasalah, agar tidak ada kehambaran setiap detik perjamuan.
Setelah semua terkumpul dengan hikmat barulah semua beranjak ke rumah. Rupanya hati sedikit bimbang. Di tengah perjalanan pulang,  sekilas Umak menatapi nasib kebun tetangga seperti ada suatu kejanggalan. Setiap mempunyai manfaat bagi kesehatan seorang manusia.  Sayur, makan sayur... Tapi kalau harus memakannya setiap hari, apakah tak ada rasa bosan terhadap sayuran ini. Pikir Ahcong mengeritik masakan itu. tibalah waktu pada sidang pertemuan dua hidangan malam. Menikmati makanan dengan senyuman dan tawa kepalsuan Ahcong kepada Umaknya, sembari melahap kangkung hasil petikan.
Dengan harapan kenyenyakan, Umak lalu menidurkan Ahcong sehabis makan. Semula udara ayem, tentram menjiwai puncaknya malam. Namun, Ahcong bangun dan bertingkah aneh menggaung teriak kepanasaan. Mengigil sakit tak karuan sehingga membangunkan penghuni lain yang terlelap tenang. Umak menjadi pikun mendadak berkecambuk pikiran tenang, menyentuh dan memegang kepala Ahcong panas sangat menerjang tubuh. “Anak ini seperti terkena demam tinggi, mungkin sehabis makan masakan tadi. “aduh, harus gimana?” bisingnya. Sementara letak otak Umak masih teringat pada sayur kangkung hasil temuan atau pencurian sore. Dengan wajah tercengang memikirkan hasil dari perbuatan. Mengeruti raut wajah lalu terhempas pada keadaan membahayakan. Tiba-tiba Ahcong yang demam terbangun serta meminta sebuah permintaan. “Mak, kalau Ahcong sembuh, bakalan janji supaya diniatkan dengan ikhlas menyantap masakan dari Umak.” Serentak lontaran kata terucap keluar, saat itulah muka
sedih wanita tua terkejut kebingungan.

Pernah tersiar di koran Sumatera Ekspres
Edisi 15 Oktober 2018
Di salin dari tulisa Bima Satria

Keterangan:
Umak: Panggilan untuk ibu dari sebuah desa peranakan Melayu Suku Ogan,
Palembang Sumatera Selatan.

Unggang: Panggilan untuk Kakek dari sebuah desa peranakan Melayu Suku Ogan, Palembang Sumatera Selatan.

Ayem: Suasana damai memeluk jiwa

sebutan zaman terdahulu atau istilah lainya “kolot”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi-Sahutan Pujangga Pemuja Maritim